Select Page

Kebutuhan akan praktisi public policy and government affairs (PPGA) yang profesional oleh dunia usaha, industri juga pemerintahan, dinilai terus tumbuh. Hal itu sejalan dengan tuntutan kemampuan komunikasi publik dan mengelola stakeholders yang mumpuni, diiringi kecerdasan politik yang matang dalam menghadapi berbagai tantangan tak terkecuali menjelang tahun pemilu 2024.

Terkait hal itu, Chairman of Indonesia Public Policy and Government Affairs (IPPGA) Arief Budiman mengatakan praktisi PPGA adalah satu profesi yang relatif baru tumbuh di Indonesia. Hal tersebut dijelaskan Arief dalam workshop bertema ‘Be Prepare Before 2024 Election’, yang diselenggarakan oleh BRIEFER bersama IGICO, dan IPPGA di Hotel Santika Seminyak, Bali, pada Selasa (22/11/2022).

Menurut Arief, profesi ini baru tumbuh sekitar 5 – 10 tahun ke belakang. Praktisi PPGA yang mempunyai kapasitas memadai sangat dibutuhkan terutama dalam konteks menavigasi kepentingan korporasi dengan pemerintahan, baik itu kebijakan publik maupun politik.
“Yang dilaksanakan oleh para praktisi public policy and government affairs itu lebih menavigasi perusahaan karena kepentingan perusahaan itu, keingintahuan perusahaan terhadap dinamika kebijakan publik, bahkan politik,” ujarnya.

Terlebih saat ini konstelasi politik dalam negeri kian menghangat menjelang tahun pemilu 2024. Di mana kelompok politik secara terang-terangan atau tidak, sudah memperlihatkan kepentingan masing-masing. Adapun pemilu jelas akan berdampak terhadap ekonomi, maupun berbagai kebijakan publik lainnya.

Profesional PPGA perlu memiliki kapasitas, kapabilitas dan jaringan yang kuat. Yaitu mampu membangun policy consensus hingga menjadi legislation and regulatory thought partner. “Ketika sudah menjadi mitra terpercaya, maka level of trust itu meningkat. Komunikasi tidak sekadar komunikasi, tetapi juga terbangun relasi yang positif. Maka perusahaan itu menjadi mitra tukar pikiran bagi antar perusahaan dan pemerintah,” ujarnya menekankan.

Oleh karena itu praktisi PPGA yang mumpuni perlu mempersiapkan beberapa hal utama yakni knowledge on public policy, paham/mengerti politik, ability di bidang corporate communication yang berkaitan erat dengan diplomacy, serta pemahaman terkait legal dan memahami aspek bisnis.

Dalam acara tersebut hadir pula sebagai pembicara Neneng Herbawati selaku Chief Executive Officer (CEO) IGICO Public Affairs Advisory yang juga merupakan issue management practitioners. Neneng menjelaskan bahwa ilmuwan sosial di US Army College tiga dekade lalu sudah memperkirakan tantangan ke depan yang akan dihadapi adalah sebuah situasi yang volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity (VUCA).

“Bagaimana VUCA di Indonesia menjelang 2024 yang merupakan tahun politik. Sementara 2023 ancaman resesi global akibat geopolitik mengakibatkan terjadinya krisis pangan dan krisis energi. Artinya sebuah situasi yang complex, uncertainty, dan membuat bingung, juga ditambah dengan 4 disrupsi dampak dari era VUCA yakni pemikiran, budaya, public relation, dan regulasi,” jelasnya.

Oleh karena itu, praktisi PPGA yang mumpuni bisa menghadapi VUCA dengan berani menerima tantangan, merespon secara cepat, dan yang paling penting adalah selalu inovasi dan berfikir kreatif. Neneng pun menekankan hal yang dibutuhkan korporasi dalam menghadapi VUCA dari seorang professional adalah kemampuan meng-update berita terkait industri dan politik, mendengarkan feedback dari customer, menerapkan komunikasi yang efektif, selalu memberikan pelatihan pada karyawan. Dan terakhir, membentuk tim yang bisa berkolaborasi dan diajak bekerja sama.

Value Organisasi

Dalam kesempatan yang sama, corporate communication practitioners I Dewa Ayu Sugiarica menjelaskan bagaimana pengelolaan stakeholders yang ideal. Terlebih dalam menghadapi isu-isu sensitif dan berbagai kemungkinannya. Menurutnya hal yang harus diprioritaskan adalah value dari perusahaan atau organisasi.

“Mungkin nanti kita akan menghadapi tahun politik. Artinya akan banyak extraordinary event misalnya yang akan kita hadapi. Tentu kita harus mempertahankan value dari organisasi kita, karena turunannya di key message yang nanti akan kita gunakan ke target publik kita,” ujar I Dewa Ayu Sugiarica yang juga menjabat Kaprodi Program Studi Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Udayana.

Di tempat yang sama, Aditya Sani, CEO BRIEFER mengungkapkan bahwa BRIEFER menyelenggarakan workshop tersebut untuk mempertemukan para praktisi dan pelaku bisnis agar memperbanyak perjumpaan dan pertukaran ide, dan pemikiran sehingga diharapkan dapat mempercepat perkembangan industri, baik government affairs maupun komunikasi. “Ke depan, kami akan lebih banyak mempertemukan lebih banyak praktisi, baik secara hybrid, offline, dan online. Karena perjumpaan, diskusi dan berbagi cerita mengenai best practices akan membangun iklim komunitas demi industri yang berkembang lebih baik.”

**